20 Maret 2011

“Kami Bahagia dengan Kesederhanaan”

Hampir sepekan saya menikmati libur di kampung halaman saya. Seperti biasa, libur kuliah kali ini saya manfaatkan dengan plesir ke tempat – tempat bersejarah yang biasa saya kunjungi sebelum merantau untuk ngilmu di Banten.
Di suatu pagi yang agak mendung, saya berkunjung ke rumah kerabat yang letaknya agak jauh dari kota (desa.blue). Pada awalnya, tidak ada yang istimewa dari perjalanan tersebut hingga pada suatu momen, mata saya perlahan terfokus pada beberapa orang yang mandi di sungai ( Jreng - Jreng!!!!! ). Eeitss, jangan ngeres dulu… bukan sosok bidadari utawa cewek seksi yang saya lihat di sana, melainkan beberapa anak kecil yang sedang asyik menikmati air sungai tanpa kontaminasi limbah pabrik seperti yang biasa saya temui di Jakarta. Entah mengapa, setelah melihat mereka, saya seperti dapat ikut merasakan kegembiraan yang mereka rasakan ketika mereka tertawa dan bersenda gurau di sungai tersebut.
Belum lama berselang, mata saya terarah pada beberapa orang tua yang sedang duduk santai di semacam pondok (pos kamling) di tepi jalan dengan ditemani beberapa cangkir kopi saling bercengkrama antara satu dengan lainnya. Tak jauh dari situ (pondok tempat Bapak-bapak nangkring), saya melihat ibu-ibu berjalan memanggul gabah melewati jalan – jalan setapak yang berdebu sembari menertawakan suatu hal yang geje. Pemandangan menyenangkan seperti ini sebenarnya lazim ditemui di desa – desa, hal yang membuatnya berbeda dimulai ketika saya teringat kata – kata bijak dari dosen saya yang menyatakan bahwa “Hal yang dicari dalam hidup ini adalah kebahagiaan (dalam arti yang positif ye...)”
Ketika saya melihat orang – orang yang tinggal di desa, saya berpendapat bahwa mereka dapat merasakan kebahagiaan meski hidup dalam kesederhanaan tanpa gelimang harta dan gadget – gadget yang biasa dimiliki orang – orang kutho dewasa ini. Seorang penduduk desa tersebut menyatakan bahwa sesungguhnya yang ia pikirkan hanya apa yang makan hari ini, besok, bulan ini, bagaimana panen kali ini berhasil, bagaimana sapi – sapinya bisa tumbuh gemuk dan bagaimana berhubungan baik dengan saduara – saudara sekitar (tetangga.blue). Berbeda dengan orang kutho yang disibukkan dengan ambisi meraih promosi jabatan, ambisi untuk menimbun kekayaan, ambisi memperjuangkan idealism dan ambisi – ambisi geje lainnya yang justru menghilangkan tujuan hidup yang menjadi aspek dasar, yaitu pencapaian kebahagiaan. Jika dipikir - pikir, terlepas dari tingkat SDM yang dimiliki tiap – tiap individu, lebih nyaman rasanya terlahir menjadi orang yang tinggal di desa yang tidak tau apa – apa daripada orang – orang yang tinggal di kota dengan sejuta ambisi.
Saya berpendapat bahwa kebahagiaan orang – orang yang tinggal di desa tersebut lebih hakiki daripada orang – orang sibuk di kota walaupun saya tidak menyatakan bahwa mereka terlepas dari berbagai masalah yang membelit hidupnya.
Berangkat dari pemikiran terebut, saya menyimpulkan bahwa sebenarnya yang dimaksud kebahagiaan tersebut adalah bagaimana kita menyukuri apa yang telah diberikan Tuhan di dalam hidup ini atas apa yang sudah kita usahakan secara maksimal.  Tidak terlalu banyak menuntut dan berambisi dengan hal – hal yang justru akan membuat kita lupa akan kebahagiaan merupakan kunci pencapaian kebahagiaan itu sendiri.
            Alhasil, semoga kita tergolong dalam kaum yang mau menyukuri nikmat dalam hidup ini agar kita termasuk dalam golongan orang – orang yang berbahagia =)

0 komentar:

Posting Komentar